Madness in Bandung III

Senin, 07 Februari 2011

Sebenarnya saya nggak mau menuliskan perjalanan hari ketiga ini. Terlalu banyak memori yang saya sendiri bingung. Apakah ini sebuah memori atau hanya kenangan yang terlewatkan.

Aku menghabiskan hari ketiga ini bersama seseorang yang awalnya aku sebut teman. Dia pernah hadir dalam hidupku sebagai partner sesama volunteer di sebuah acara festival besar Oktober tahun lalu. Aku bahkan hanya tahu namanya saja dan jarang sekali bertegur sapa dengannya. Mungkin karena kami sibuk di divisi masing-masing. Sekian lama menghilang. Tiba-tiba dia muncul lagi di akhir bulan Desember. Itupun setelah aku baru sadar ternyata teman-teman sesama volunteer udah sekian lama mention aku dan dia di twitter.

Ini sebuah coincidence atau takdir. Aku nggak tau.

Yang aku tahu, malam ini aku menghabiskan 12 jam hari untuk mewujudkan mimpiku. Dan dia seolah menjadi penolong yang dikirim Tuhan untuk membantu mewujudkan mimpi itu.

Kawah Putih. 4 jam perjalanan.

Mimpi pertama ini sudah aku tanam sejak bertahun-tahun yang lalu. Sejak pertama kali aku tahu ada kawah begitu indah dari film Heart. Aku ingin sekali bisa berada di depan hijaunya danau Kawah Putih bersama sapuan kabut-kabut putih yang menambah misterius daratan-daratan di tengah danau itu.

Dan hari ini. Dia membawaku kesana. Membawa tubuhku ke dinginnya angin dan hujan yang begitu menusuk kulitku. Membawaku mewujudkan mimpiku. Mimpi tentang keindahan alam Indonesia yang begitu aku puja.





Tidak banyak kata. Suara. Tawa. Hanya gemetar tubuhku dan gesekan gigi-gigiku yang terdengar. Menahan dingin yang luar biasa. Ia pun hanya sekali-kali tertawa melihat aku begitu kedinginan dan membantuku mengabadikan cantiknya danau hijau Kawah Putih. Menunggu menikmati tersapunya kabut dari tebing-tebing yang menyelimuti kawah. Dan menatapku saat aku sedang menatap diam batang-batang pohon kering.

Aku menikmatinya. Sangat. Rasanya tidak ingin beranjak dari kawah itu. Namun, rasanya dingin membuatku dan dirinya begitu kaku. Sulit untuk mengucapkan sesuatu. Bahkan isyaratnya pun tak mampu aku baca.







Pasir Koja. Sebuah gang kecil yang tak terjamah. Sepulang dari Kawah Putih.

Ditengah mimpi-mimpi yang sedang aku kejar, terselip mimpi yang tiba-tiba ia ciptakan untukku. Padahal aku sangat tahu. Kami benar-benar tidak banyak berbicara sepanjang perjalanan pulang. 4 jam kami habiskan hanya berbicara seperlunya. Otakku pun sibuk bertanya-tanya, harus bicara apa? Sampai akhirnya kamu mencetuskan ide untuk membawaku ke sebuah tempat penghasil gula-gula, jajanan masa kecil dulu yang sering disebut ‘rambut nenek’. Aku begitu terkagum-kagum dengan idenya yang selalu diluar kepalaku. Persis seperti cerewetnya saat kami chatting di dunia maya. Dia begitu banyak mendatangkan keterkejutan di kepalaku. Bahkan untuk mimpiku selanjutnya.

Kopi Ireng. Bukit Pakar Timur. Sore menjelang malam di Dago Atas.

Ini salah satu dari bagian keterkejutanku akan inisiatif seseorang yang cukup lama aku kenal di dunia maya. Aku mungkin belum begitu mengenalnya. Karena sulit sekali menembus pertahanannya. Namun, setidaknya malam ini aku mencoba menyelami pelan-pelan karang pertahanannya. Ditengah sejuknya angin perbukitan Dago Pakar, dia membawaku ke sebuah kafe bernuansa kayu dengan undakan-undakan batu yang begitu tinggi bernama Kopi Ireng. Kami duduk di teras atas sehingga aku begitu jelas melihat hamparan pemukiman Bandung dari atas bukit. Begitu indah. Begitu cantik.

Sambil nyemil aku menghabiskan sore bercengkrama dengannya.

Menyesap orange coffee yang merusak sedikit moodku karena begitu anehnya rasa kopi itu dan mengunyah begitu gurih dan pedasnya nachos seperti cerita-ceritanya tentang masa SMA yang penuh dengan pedasnya pengalaman nakal remaja.





Ia menikmati sepiring nasi goreng irengnya sedangkan aku terus mendengarkan begitu banyak cerita masa lalunya.



Begitu banyak keterkejutanku akan masa lalunya dan kemudian menjadi pertanyaan yang menggoyahkan hatiku. Tuhan, di depan saya ada laki-laki yang begitu jujurnya menceritakan begitu kelamnya masa lalunya. Namun, apa yang harus saya lakukan? Menerimanya apa adanyakah? Atau menjauhinya karena ia punya masa lalu yang suatu saat mungkin akan terjadi lagi.

Akh, setelah itu kami terdiam. Terlalu banyak pertanyaan di pikiranku tentangnya. Tentang ia yang begitu jujur. Tentang aku yang tak bisa mengartikan kejujurannya. Tentang hatiku yang bimbang harus berpijak dimana. Tentang aku yang bertanya-tanya dari mana ini semua dimulai. Tentang semua rasa. Semua harapan. Semua kepercayaan. Semua kejujuran.

18.30 WIB. Kopi Ireng di malam hari dan citylight of Bandung

Sejenak aku melupakan semua pembicaraan kami. Dan sibuk menikmati dan memandangi begitu indahnya citylight Bandung di malam hari. Begitu cantik. Begitu gemerlap. Seperti bintang yang tak pernah pudar.





Tuhan, dia penuh tanda tanya. Namun, dia berhasil mewujudkan mimpi keduaku untuk melihat citylight seindah ini. Mimpi yang sejak sekian lama juga aku tanamkan di otakku. Mimpi yang terwujud dan tak pernah terduga akan dibantu diwujudkan oleh seseorang semisterius dia.

Kemilau Bandung. Sejuknya angin malam. Masih menyisakan jejak tanda-tanya tentang siapa dia sebenarnya. Ada apa diantara kami berdua sebenarnya. Apa kelanjutan dari chatting-chatting kami yang kadang begitu intim. Aku masih bertanya.

Ngopi Doeloe. Teuku Umar No. 5. Dago.

Pertanyaan itu masih terus ada di benakku sesampainya kami kembali berkumpul dengan teman-teman di sebuah kafe bernama Ngopi Doeloe. Kafenya begitu luas. Ada area outdoor yang begitu temaram dengan bangku-bangku berpayung yang dihiasi lilin-lilin cantik di tiap mejanya. Di area indoor pun ada banyak sofa-sofa berwarna hitam, dengan interiror minimalis dengan cermin-cermin besar dan lukisan abstrak di dinding.





Kafenya ramai dengan anak-anak muda Jakarta dan Bandung berkumpul dan bersenda gurau. Aku duduk bersebelahan dengannya. Didepannya sahabatku dan kekasihnya. Kami terdiam saat mereka sibuk mencandai dan menggoda kami. Timbul lagi pertanyaanku saat dia begitu tenangnya menghadapi godaan-godaan itu. Kemudian dia tenggelam dengan Blackberrynya.

Hampir 2 jam kami di sini. Hanya aku, sahabatku dan kekasihnya yang asyik ngobrol. Dia masih tenggelam dalam Blackberrynya. Mengapa? Mengapa dia seolah menjauh. Mengapa tak ada kalimat-kalimat lagi. Apakah dia memikirkan hal yang sama denganku?

Sepanjang perjalanan pulangpun, lagi-lagi kami hanya saling diam. Menikmati gelapnya malam-malam Bandung yang hanya terang dengan lampu-lampu temaram kafe-kafe di setiap sudut jalan. Dia mengajakku keliling-keliling sambil menunggu sahabatku dan kekasihnya sampai.

Dia membawaku menyusuri setiap jengkal jalan-jalan di Bandung. Menunjukkan begitu banyak tempat makan dan tempat nongkrong yang begitu happening. Menunjukkan begitu banyak rute jalan yang akhirnya hanya sekilas angin di telingaku.

Dipikiranku masih sama malam itu. Kita ini sebenarnya apa? Siapa? Dan untuk apa?

0 komentar:

Posting Komentar