Beberapa waktu lalu saya dan teman-teman saya yang baru lulus kuliah sibuk mengeluh tentang nasib kami setelah lulus. “Gila ya udah lulus kayak begini aja baru kebingungan mau jadi apa. Pas liat lowongan ternyata syaratnya gak segampang yang gue kira.” “Gue bingung mau ngelamar jadi apa? Nggak sesuai kemauan gue terus gajinya juga gak sepadan dengan kerjaan.” Umumnya, keluhan-keluhan itu nggak jauh dari stereotip kejamnya dunia kerja. ‘Dunia yang sebenarnya’, kata dosen saya. Bisa jadi kami sedang mengalami ‘graduation syndrome’. Saya sendiri merasa apa yang sudah saya dapat selama kuliah di jurusan Sastra Inggris nggak semua ilmunya terpakai.
Coba liat di kolom-kolom lowongan kerja. Nggak ada yang persyaratannya cuma bisa Bahasa Inggris saja. Mereka butuh skill dan pengalaman plus tetek bengek lain macam interpersonal skill, komputer skill, dan lain-lainnya yang nggak pernah terpikirkan sebelumnya. Semuanya bikin saya khawatir. Saya mungkin punya keahlian menulis untuk jadi wartawan, tapi bagaimana nasib temen saya yang misalnya nggak punya keahlian apa-apa tapi cuma mengandalkan kemampuan Bahasa Inggrisnya. Yang paling mungkin cuma jadi pengajar, tapi dia nggak ingin jadi pengajar. Atau teman saya yang sarjana akuntansi tapi nggak terbiasa berbicara di depan umum dan males banget kalau harus jadi juru hitung yang kerjanya cuma melototin komputer. Ujung-ujungnya karena bingung, akhirnya kita hanya buang-buang waktu untuk mencoba-coba pekerjaan dan karir kedepannya pun nggak jelas.
Akh, serba salah kan jadinya. Ternyata cari kerja nggak segampang yang saya kira saat jaman kuliah dulu. Kemarin saya sempat berbincang-bincang dengan senior saya yang sudah kerja dan saya ceritakan soal ketakutan saya akan dunia kerja. Dia hanya berkata, “Hidup itu kan seperti roller coaster, ada saatnya lurus, menanjak, berbalik dan lurus lagi. Kalau sudah berani naik permainan itu, ya siap nggak siap kamu harus menghadapi semua sensasinya kan.” Saya langsung tersentuh mendengarnya. Bener juga ya, sampai kapan mau dapat pekerjaan kalau kita terus ketakutan. Sampai kapan kita mendapat arah karir yang jelas kalau kita sendiri ketakutan untuk menentukan dan merencanakan arah karir kita.
Saya akhirnya mulai mencari tahu apa saja yang harus saya persiapkan untuk menghadapi dunia kerja. Satu hal yang saya ingat pertama kali adalah minat. Saya mengingat cita-cita saya menjadi wartawan, biasanya cita-cita berhubungan dengan minat kita. Intinya, carilah pekerjaan yang dirasa bisa memaksimalkan keahlian dan kemampuan yang dimiliki. Kemudian, saya juga mempertimbangkan gaya hidup yang saya mau dalam karir seperti apa. Saya sih bisa melihatnya dari pribadi sendiri.
Misalnya, saya orangnya pendiam, saya berpikir apakah saya siap dengan pekerjaan yang menuntut saya bertemu klien dan presentasi di depan mereka setiap saat. Atau mungkin kamu yang lebih mobile, sudah siapkah bekerja dengan tim kecil yang kerjanya hanya seharian di depan komputer. Pekerjaan juga berhubungan dengan kesenangan. Jika kita senang melakukan suatu hal, maka segalanya pun menjadi mudah dilaksanakan. Selain minat, saya juga mencari tahu hal-hal yang saya sukai dari pekerjaan yang akan dipilih. Misal, kalau kamu lebih suka menata interior rumah tinggal, kenapa mesti banting tulang jadi arsitek gedung pencakar langit?
Setelah itu barulah saya mulai mencari pekerjaan yang sesuai dengan gaya hidup saya. Ditambah mencari info dari teman-teman tentang pekerjaan yang saya minati dan info pekerjaan mereka. Lalu, saya membayangkan kira-kira apakah saya ingin bekerja seperti mereka dan sudah sesuaikah bayangan pekerjaan impian saya. Saya pernah baca quotes di sebuah koran seperti ini, “Pilihan karier Anda haruslah tergantung pada kebahagiaan Anda dalam bekerja, penghargaan yang sesuai dan kesempatan untuk sukses.” Jadi, yuk buka mata, hati, telinga dan pikiran kita. Nggak usah takut menghadapi dunia kerja. Hidup hanya sekali kalau dipenuhi dengan rasa takut dan penyesalan yang tak henti. Sukses dibangun dari bawah. Mau jadi direktur pun nggak bisa langsung naik jabatan, begitupun dengan karir kita kan. Start from the bottom, and then you will see the beautiful in the top.
Cheers,
Icha
Langganan:
Postingan (Atom)